
Perpajakan di Indonesia dimulai dengan self assessment. Ini berarti Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakan mereka secara mandiri. Otoritas pajak memiliki waktu 5 tahun untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Jika jangka waktu 5 tahun terlampaui, secara umum laporan Wajib Pajak dianggap sudah benar. Walaupun, ada ketentuan yang memberikan ruang bagi otoritas pajak untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak setelah melampaui jangka waktu 5 tahun, namun langkah tersebut memerlukan alasan yang lebih mengarah pada dugaan tindak pidana di bidang perpajakan.

Jika kita fokus pada jangka waktu penetapan 5 tahun, otoritas pajak dapat melakukan pemeriksaan pajak dengan pemicu (trigger) misalnya Wajib Pajak mengajukan restitusi pajak, Wajib Pajak melaporkan kerugian fiskal, atau fiskus menemukan data yang berbeda dari pihak lain dibandingkan dengan data yang dilaporkan Wajib Pajak. Dalam proses pemeriksaan pajak, berpotensi terjadinya silang pendapat mengenai nilai pajak terutang versi pemeriksa pajak dengan nilai pajak terutang versi Wajib Pajak. Perbedaan pendapat tersebut dapat berakhir dengan Surat Ketetapan Pajak atau dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan hasil pemeriksaan, cerita berlanjut ke proses keberatan pajak. Proses keberatan pajak akan membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun. Apabila akhirnya keberatan pajak ditolak, alternatif yang tersedia bagi Wajib Pajak adalah membayar sesuai dengan SK Keberatan atau melanjutkan ke Pengadilan Pajak.

Proses berperkara di Pengadilan Pajak biasanya cukup panjang dan membutuhkan extra effort. Dibutuhkan tim kuasa hukum yang berpengalaman untuk memenangkan pertarungan dalam banding/ gugatan di Pengadilan Pajak. Skill dan approach yang dibutuhkan sangatlah berbeda antara penanganan pemeriksaan dengan penanganan banding/ gugatan. Terlebih lagi, mulai tahun 2026 Pengadilan Pajak tidak lagi berada dibawah atap Kementerian Keuangan namun sudah digeser ke Mahkamah Agung. Hal ini jelas berpotensi mengubah "game plan" dalam bersengketa di Pengadilan Pajak.